Hari ini, hari selasa, 25 Juli
2022, udara Bandara Sukarno Hatta panas sekali, mungkin sampai 35oC.
Anehnya tak menyurutkan ribuan orang, oh bukan ribuan tapi puluhan ribu,
mendekati angka 100 ribu orang malah, yang berdatangan ke airport kebanggan
Jakarta yang letaknya di Tangerang. Akibatnya sangat parah! Kemacetan panjang
tol bandara, bahkan sampai tol dalam kota. Berita menyebutkan, mobil di jalan
tol cawang tak bisa bergerak. Stuck luar biasa. Tapi gila.. mereka tak ada yang
bersedih. Mereka senyum-senyum saja, senang-senang saja. Di bandara, mereka
bukan mau berdemo. Hampir semua baju mereka berwana merah. Sebagian dari mereka
mengibarkan bendera merah-putih. Wajah mereka berharap cemas, tapi nadanya
bangga sekali. Ada apa?
Petugas keamanan bandara dibantu
Polisi dan tentara begitu kuwalahan menghalau mereka, sulit merapikan mereka. Sejumlah
penerbangan dalam dan luar negeri dibatalkan, lantaran pilot dan pramugari
sampai para calon penumpang harus mati-matian masuk bandara. Bunyi sirine mobil
pengawal sudah kian mendekat. Sejumlah pejabat negara, para pimpinan partai,
semua petinggi dari semua instansi pada berdatangan dengan pengawalan
masing-masing. Masyarakat yang sudah merasa duluan datang dengan nuansa
merah-putih tak mau diatur, sebab mereka juga merasa punya hak menyambut..
menyambut pahlawan mereka. Pahlawan? Siapa pahlawan mereka?
Masyarakat yang berkerumun,
banyaknya luar biasa, tak terbendung sesaat setelah mendengar informator
mengumumkan pesawat Garuda yang terbang dari Doha sudah mendarat. Mereka
memaksa masuk ke dalam ruang kedatangan. Brigade polisi, tentara dan petugas
bandara tak sanggup menghalau mereka. Barisan itu pecah. Setelah itu tumpahlah
masyarakat sambil mengibarkan bendera merah-putih, menyanyikan lagu ‘Indonesia
Raya’ sambil berlari menuju landasan pesawat.
Sampai lapangan landasan bandara
yang luas mereka terhenti, membiarkan pintu pesawat Garuda itu dibuka. Perlahan
pintu pesawat dibuka. Sosok pramugari yang cantik tak mereka perdulikan. Seorang
mengomandoi lagu yang lantas sama-sama mereka kumandangkan, lagunya ‘Garuda Di
Dadaku!’ Begitu muncul sosok pemuda tampan berjaket dan bercelana training
merah-putih, puluhan ribu orang itu berteriak histeris, menangis, mengibarkan
merah-putih dengan keranjingan. Dan.. saat wajah itu terlihat jelas, barulah
mereka teriak makin kesetanan, “Dodi Alfayed..!!!”
Iya.. Dodi Alfayed, kapten timnas
Indonesia yang baru saja pulang dari Doha Qatar memimpin rekan-rekannya.
Setahun yang lalu siapa yang
kenal Dodi Alfayed? Hanya beberapa orang saja, itu juga paling orang-orang yang
gila bener sama sepakbola. Tak ada yang perduli dengan persebakbolaan nasional.
Pemerintah dan semua elit politik makin ganas dan rakus rebutan uang rakyat.
Setiap partai menjual kemakmuran negeri, walaupun hasilnya bisa dapat diduga,
yaitu kian membenamkan Indonesia ke dasar kebobrokan! Tak ada yang bisa
dibanggakan pada negeri ini dalam 1 atau 2 dekade ini.
Sepakbola? Apa? Membanggakan
sepakbola kita? Dari tahun 2010 sampai 2022 konflik dualisme PSSI tak kunjung
habis-habisnya. Mereka yang duduk di PSSI tak ubahnya para tikus yang terus
menggerogoti persepakbolaan kita dengan dalih janji prestasi. Elit-elit di
kedua PSSI seperti tak punya malu! Padahal FIFA sudah 2 kali menjatuhkan sanksi
yang berat. Pertama tahun 2013, karena Indonesia dianggap tak bisa
menyelesaikan perselisihan 2 PSSI itu, maka FIFA memberi fonis sangat berat, melarang
Indonesia ikut turnamen internasional dalam waktu 3 tahun!
Tahun 2016 kedua PSSI itu
berdamai setelah FIFA mencabut embargo larangan bertandingnya Indonesia di
tingkat antar negara, kedua PSSI mau juga berdamai. Tapi ternyata itu hanya
bohong! Isapan jempol belaka! Mereka kembali gontok-gontokan. Kali ini makin
hancur! Makin parah! Bahkan makin gila, di tahun 2017 Indonesia terang-terangan
pada dunia internasional punya 2 timnas! Lagi-lagi FIFA murka! Indonesia
kembali dikasih hukuman yang beratnya sama, yaitu dilarang main di tingkat
dunia, even itu setingkat seag atau piala AFF, sampai tahun 2020. Rangking
Indonsia di FIFA merosot tajam, memecahkan rekor rangking terendah yang pernah
disematkan FIFA di dada Indonesia, yaitu rangking 169.
Imbasnya adalah para
pemain-pemain Indonesia yang berbakat pada ekspansi besar-besaran ke luar
negeri. Alasan mereka sama, bermain di Indonesia tak ubahnya main bola tarkam.
Klub tidak ada yang profesional. Penonton selalu rusuh. Wasit bisa disogok.
Hasil pertandingan bisa dibeli. Parahnya lagi gaji bisa telat sampai 6 bulan
atau lebih.
Para wartawan olahraga kala itu
juga sudah ogah memberitakan berita sepakbola Indonesia. Berita itu hanya bikin
orang emosi, marah, geram, memaki, males, mengoblok-goblokkan Indonesia!
Sehingga tidak banyak yang tahu, Dodi Alfayed yang pernah jadi kapten SSB
Kebomania, yang kala itu pernah masuk semifinal Gothia Cup di Swedia 2012,
pergi ke klub Bangkok Bank Thailand. Hanya semusim main di sana, Nagoya Grampus
Eight memboyongnya bermain di J-League. 2 tahun di sana, Alfayed mencatatkan
dirinya sebagai pencetak gol terbanyak ke-2 di J-League 2019. Dodi Alfayed
makin mengkilat ketika berhasil membawa Nagoya Grampus ke final Piala antar
klub sedunia di Jepang. Kala itu di final kalah dari Arsenal lewat adu pinalti.
Peristiwa itulah yang membuat Denish Bergkamp berusaha mendapatkan tanda tangan
Dodi Alfayed untuk jasanya sebagai striker di Arsenal. Mas kawin yang diminta
Nagoya Grampus dipenuh, maka Alfayed jadi pemain Indonesia pertama yang bermain
di Emirates Stadium kandang Arsenal.
Bukan hanya Dodi Alfayed yang
beritanya dicuekin media. Masih ada Muhammad Lukito, bek sayap yang punya
julukan the next Roberto Carlos, yang diam-diam jadi pemain kesayangannya Paulo
Maldini di Fiorentina. Harry Liem, kiper keturunan tionghoa yang pindah dari
Persebaya ke Urawa Red. Andik Firmansyah, pemain senior, yang dari dulu sudah kecewa
sama PSSI dan memutuskan pindah ke Swedia bersama istrinya yang orang sana
asli. Andik main di Grashopher. Belum lagi Noach Mariem Junior, pemain Papua
yang kini main AOK. Himawan, stoper kebanggaan Persib dibajak Malaga. Timur Pambudi
merumput di FC Koln. Nanang Wisnu Nusantara di Al Hilal. Dan anak muda bernama
Davin Rasya yang dimasukan bapaknya di sekolah bola Ajax, ternyata Barcelona
ngebet banget pengen dapetin remaja 18 tahun itu. Masih banyak nama lain yang
tersebar di berbagai klub di seluruh dunia.
Persepakbolaan Indonesia yang
morat-marit, runtuhnya moral bangsa, dan carut-marutnya PSSI yang dihuni oleh
orang-orang yang hanya ingin memperbesar kekayaan saja, membuat mereka tak
terlalu memikirkan timnas. Tak perduli saat itu Indonesia diharamkan ikut
turnamen internasional apapun. Seperti menutup mata bahwa itu semua aib.
Sehingga mereka, kedua PSSI itu, seperti tak perduli ketika FIFA mencabut
(lagi) larangan bertanding Indonesia di ajang dunia. Karena toh kedua PSSI itu juga
tak siap dengan timnasnya masing-masing.
Situasi yang memuakan itu justru
melecutkan semangat Dodi Alfayed untuk menghubungi semua rekan-rekannya yang
bermain di luar negeri. Mereka sepakat bertemu di Kuala Lumpur. Hasil
pembicaraan membulatkan niat mereka, mereka akan bermain untuk timnas mereka,
mengatas-namakan Indonesia, untuk Pra Piala Dunia Qatar 2022. Karena di
Indonesia sendiri PSSI-nya kala tidak memikirkan dan tidak siap dengan timnas,
maka mereka oke-oke aja saat Alfayed dan teman-teman minta restu karena akan
mengatasnamakan Indonesia. Orang tua Davin Rasya yang juga kerja di Ajax,
berhasil membujuk Mark Van Bommel untuk mau menukangi timnas kita. Maka..
mulailah timnas Indonesia mengarungi petualangan PPD 2022 dengan sebutan bukan
‘Timnas Garuda’, akan tetapi ‘Timnas Garuda Luka’.
Bagaimana sepak-terjang Dodi Alfayed di Pra Piala Dunia Qatar 2022? Ikuti terus serunya lanjutan cerita INDONESIA 2022 'BAGIAN 2'.
0 komentar:
Posting Komentar