Pages

Kamis, 30 Agustus 2012

EMAS PERTAMA DI PENJARA


Saya lupa hari apa dan bulan apa. Kalo saya mau browsing sebentar, pasti akan ketahuan, bulan apa dan tanggal berapa yang saya maksud. Yang pasti peristiwa itu terjadi tahun 1987, beberapa bulan setelah saya masuk SMA.

Saat itu Indonesia sedang hingar-bingar menyelenggarakan sea games. Dan pada hari yang akan saya ceritakan ini, adalah hari menjelang penutupan sea games, pas pertandingan final cabang olah raga paling bergengsi, sepakbola. Sebuah penantian panjang, mungkin saja akan berakhir di hari itu. Indonesia sebagai tuan rumah masuk final, menantang negara serumpun, Malaysia. Jika saja Indonesia berhasil mengalahkan Malaysia, maka Indonesia akan memperoleh medali emas. Artinya itu akan menjadi emas pertama buat Indonesia dari cabang Sepakbola selama keikut-sertaannya di Sea Games.

Sebenarnya bukan Sea Gamesnya, bukan Sepakbolanya, yang akan saya ceritakan. Mungkin karena pengalaman yang akan saya kisahkan ini erat kaitannya dengan momen itu.

Teman dekat saya.. hmm.. maaf, saya pakai nama samaran ya.. sebut saja namanya Inyong, sahabat dekat saya dari SMP. Walaupun saat SMA saya tidak satu sekolah sama Inyong, tak menyurutkan kami untuk tetap bersahabat, tetap saling mengunjungi rumah kami masing-masing. Kami yang sama-sama gila bola, hari itu janjian untuk nonton pertandingan Final Sea Games itu di GBK, dulu namanya Stadion Utama Senayan Jakarta.

Saya jemput Inyong di rumahnya dengan motor, lantas kami lekas buru-buru pergi ke Senayan. Jelas saja buru-buru, kami tidak mau kehabisan tiket. Pokoknya jangan sampai terlewatkan pertandingan bersejarah itu. Saya menikmati perjalanan saya dengan Inyong. Indah sekali, bercanda tawa, kami benar-benar sepasang sahabat yang kental. Kala itu kami masih bisa melintasi jembatan Semanggi dengan tanpa helm, karena belum ada wajib helm di tahun itu.

Kami kaget luar biasa begitu kami sampai di parkir timur Senayan yang tiba-tiba saja menjadi lautan motor. Ya Tuhan. padahal kami sudah buru-buru, tapi ternyata orang lain lebih dulu dari kami. Tanpa pikir panjang kami cepat mencari parkir dimana saja. Setelah itu kami lari sekencang-kencangnya menuju ke stadion, memasuki wilayah pintu timur stadion. Hati saya dag-dig-dug melihat betapa banyaknya penonton, sama seperti saat saya menyaksikan langsung final perserikatan setahun sebelumnya yang menggelar pertandingan antara PSIS vs Persebaya. Saya masih ingat, betapa hati saya girang bukan main, karena tim saya, PSIS merebut juara Perserikatan untuk pertama kali lewat gol tunggal Ribut Wahidi.

Iya, waktu final perserikatan 1986 memang ramai sekali, tapi waktu itu yang juga nonton bareng Inyong sudah sampai di Stadion Senayan 6 jam sebelum pertandingan dimulai. Tapi waktu final sea games beda, saya dan Inyong sampai 1 jam sebelum kick off, dan para calon penonton yang belum masuk stadion saja sudah membludak bukan main. Konon katanya di dalam stadion sudah penuh. Semua tiket di loket sudah ludes terjual. Bukan hanya itu, tiket yang dijual calo pun sudah kering! Saya bahkan tidak melihat satu pun orang calo yang menawarkan tiket. Calo pun kehabisan tiket.

Saya tertunduk lesu ketika menyadari bahwa saya dan Inyong dipastikan tidak mungkin bisa nonton secara langsung di dalam stadion. Karena kemungkinannya 0% ada orang yang jual tiket ke kami.

"Buruan balik yuk! Kita masih sempet nonton siaran langsungnya di rumah!" Sergah Inyong sambil menepuk bahu saya. Menyadarkan saya, menyemangati saya. Karena memang benar, saya dan Inyong masih punya waktu banyak untuk pulang. Jarak tempuh Senayan - Cawang waktu itu bisa cepat ditempuh, maklum belum ada kemacetan. Padahal jalan Gatot Subroto masih kecil, orang-orang masih bisa menyeberang jalan raya dengan jalan kaki di sepanjang jalan itu. Saya dan Inyong lari menuju parkir timur.

Sampai di sana kami menganga menyaksikan ribuan motor ada di sana. Sialnya kami sama-sama lupa, dimana motor saya diparkir. Saya dan Inyong beradu pendapat. Inyong yakin banget arahnya ke kanan. Sementara saya tetap pada pendirian saya, begitu sampai parkir timur, langsung mengarah ke kiri. Motor saya pasti ada di daerah kiri. Karena perdebatan panjang yang menjadikan kami debat kusir, Inyong lantas punya ide, "Gini aja, man.. Lu cari ke sana.. gue cari ke sini.. adil kan.. Nah, kalo nanti di antara kita nemuin motor lu, kita janjian di tempat itu." Inyong bicara yakin sambil menunjuk tiang lampu besar di depan gerbang besar pintu parkir timur yang bersebelahan dengan pintu gerbang kolam renang. Mukanya terus menahan senyum. Memang begitu cara dia bicara. Saya setuju. Eits, nanti dulu. Siapa yang pegang kunci?

"Gue aja!" Inyong merebut kunci dari tangan saya. Saya yang kaget belum sempat tanya, Inyong sudah  nambahin, "Karena gue yakin, gue yang bener." Inyong kembali nahan senyum, selengekan. Ya sudah, karena toh kunci dipegang siapa saja, tidak masalah. Yang penting nanti salah satu dari kami akan menemukan motor saya, dan kami bisa segera pulang bersama-sama buat nonton siaran langsung final Sea Games Sepakbola 1987, Indonesia vs Malaysia.

Saya mencebur ke lautan motor, banyak sekali, sangat banyak. Susah setengah mati menemukan motor yamaha bebek merah yang dibeli bapak saya saat tugas di Cilacap tahun 1982. Sudah setengah jam mencari, tetap saja saya tidak menemukan motor saya. Saya mulai tegang, cemas. Bukan karena takut motor saya hilang, tapi khawatir saya tidak kebagian siaran langsung. Jika saja timnas kita bisa merebut emas untuk pertama kali, bisa-bisa saya tidak jadi saksi sejarah. Itu yang paling saya takutkan. Makanya saya girang bukan main ketika Inyong tiba-tiba menyapa saya dari belakang, mengagetkan saya, membuyarkan semua pemikiran buruk saya. Apalagi saat Inyong bicara dengan antusias, "Motor lu udah ketemu. Di sana tuh." Tanpa pikir panjang, saya tarik tangan Inyong, "Ya udah.. yuk buruan pulang. Kita bisa bisa kebagian babak kedua."

Saya dan Inyong menuju ke parkiran motor saya, yang rupanya ada di bawah lampu taman yang tinggi menjulang. Saya mengambil inisiatif yang mengemudi motor itu, Inyong membonceng. Agar saya bisa ngebut, maksudnya begitu. Namun ada yang mengagetkan buat saya, ketika motor saya melaju beberapa meter, Inyong minta diantar ke gelanggang renang. "Mau ngapain?" Tanya saya kaget. Inyong menjawab tenang, "Bentar doang." Oke, ya sudah, tidak apa-apa, karena pasti tidak ada apa-apa. Saya hanya pesan ke Inyong, harus buru-buru. Tidak boleh lama. Kalau sampai lama, timnas kesayangan saya akan kehilangan satu penonton yang sangat mencintainya.

Saya dan Inyong sampai di halaman gelanggang renang. Inyong minta berhenti di sebuah motor yang terpakir sendirian. Inyong melompat turun, dan berganti ke motor itu. Saya kaget, "Motor siapa, Nyong? Lu kemari tadi boncengan sama gue, kan?" Lagi-lagi Inyong menjawab dengan sangai dan sangat tenang, "Tenang aja.. kita pulang iring-iringan aja." Kalimat Inyong itu sangat mengagetkan saya, dan saya langsung menyangka yang tidak-tidak pada Inyong, "Nggak, nyong. Gue nggak berani. Gue nggak berani iring-iringan. Lu aja duluan deh." Maka Inyong meyakinkan saya, "Tenang, man.. nggak apa-apa kok. Nggak ada yang tahu kalo motor ini motor malingan. Besok kita akan jual motor ini. Lu dapat bagian deh."

Saya bersikeras tidak mau. Namun Inyong terus meyakinkan saya, bahwa tidak ada polisi yang curiga. Karena semua Polisi pasti sedang sibuk mengamankan penonton di dalam stadion sana. Saya terpengaruh, bukan terpengaruh untuk mendapatkan keuntungan dari penjualan motor itu, tapi terpengaruh tentang tidak ada polisi yang akan menangkap. Karena masuk akal juga keterangan dari Inyong. Dengan dag-dig-dug keras, saya dan Inyong pergi dari situ, dengan motornya masing-masing. Saya dengan motor saya, dan Inyong mengendarai motor hasil curiannya. Dalam hati saya, cepat sekali dia maling motor. Padahal setahu saya, saya kenal Inyong dari SMP, sepertinya dia bukan maling.

Saya dan Inyong iring-iringan keluar lewat pintu keluar parkir timur. Kalau sekarang, posisi pintu keluar itu antara hotel hilton dengan JHCC. Dulu ada pintu keluar lewat situ. Sekarang pintu keluarnya di seberang TVRI. Betapa saya kaget, di pintu keluar itu rupanya ada razia Polisi. Banyak sekali Polisi ada di situ. Jelas saja saya kaget bukan main. Bukan kaget karena akan dimintai kelengkapan surat, tapi karena saat ini saya iring-iringan dengan teman saya yang baru saja mengakuisisi motor orang tanpa mahar, alias mencuri. Saya bisa saya usahakan saat itu adalah, sebisa mungkin saya bikin Polisi tidak curiga kami tidak berteman.

Polisi memeriksa saya dan Inyong di tempat yang berbeda, rada jauh malah. Saya lega. Segingga saya bisa menjawab pertanyaan Polisi dengan sangat tenang. Ya Tuhan, ternyata saya dapat masalah besar, yaitu saya tidak bawa STNK. Polisi yang ramah itu menjelaskan, "Kalau adik nggak ada SIM, nggak apa-apa. Kami hanya razia STNK saja kok. Kami curigai orang-orang yang keluar sebelum pertandingan selesai." Spontan saya jelaskan ke Polisi baik itu, bahwa STNK saya ketinggalan di rumah. Kalau Polisi itu tidak percaya, saya minta diantar ke rumah buat ambil STNK motor saya. Hebatnya Polisi itu percaya sama saya, dan mengijinkan saya pulang mengambil STNK.

Masalah saya selesai? Tidak sama sekali. Karena saya lupa, ternyata uang saya semuanya sudah saya kasih ke Inyong yang tadi mau ngantri tiket. Itu sebabnya saya harus menemui Inyong buat minta uang, bakal ongkos pulang. Pertemuan saya dengan Inyong saya buat cepat, agar Polisi tidak curiga. Yang penting saya bisa mendapatkan uang saya, 5000 perak.

Saya pulang dengan diantar bis tingkat, kalau nggak salah nomer 46. Turun di Cililitan, lantas naik trans halim. Berhenti di Jengki, samping pabrik ban Intirub. Dari situ menuju rumah saya masih rada jauh, sehingga saya naik becak. Jaman segitu, uang 5000 masih bisa untuk ongkos pulang pergi. Sampai di rumah, saya tegang sekali, ketika saya tanya ke Ibu, dimana STNK motor saya. Ibu tanya, "Kok tanya STNK? Motornya mana?" Saya sudah siap bahan berbohong, dan cepat saya jawab, "Ada di rumah temen. Ini mau ke rumah temen satu lagi. Harus bawa STNK. Soalnya lewat jalan gede. Takut ada razia aja." Ibu saya mengernyit, memandangi saya dengan heran sembari memberikan STNK. Saya tahu persis, ibu saya pasti sudah feeling kalo saya bohong saat itu. Entah kenapa, dari kecil saya selalu ketahuan jika bohong sama beliau. Ah sudahlah, itu nggak saya pikirin. Yang penting saya harus buru-buru balik ke Senayan, buat ambil motor saya.

Sampai di Senayan, Polisi tampan yang baik tadi masih di sana, segera saya kasih STNK saya ke dia. Dia baca sebentar, dia cocokan dengan plat nomor motor saya, kemudian dia manggut-manggut sambil ngasih STNK itu ke saya lagi, "Iya.. cocok.. ya sudah, hati-hati ya." Fiyuuuh.. saya lega sekali menerima STNK itu. Saya ambil motor saya, saya naiki motor itu, lantas saya nyalakan mesinnya.. Dan.. Saya berhasil bebas pulang? Oh, tentu tidak.

Tiba-tiba Polisi lain meneriaki saya, "Hey.. kamu.. kamu.. mau kemana kamu!?" Saya kaget, menoleh ke Polisi rada tuaan dan rada gendutan itu. Kita sebut saja dia Polisi Gendut. Saya terpaksa berhenti, karena Polisi Gendut itu benar-benar memanggil saya. Untung saja ada Polisi Tampan tadi, membantu saya, "Ada apa, Dan.. surat dia lengkap kok, dan." Polisi Gendut segera menyampaikan maksudnya, "Bukan itu! Kamu temennya Inyong, kan!?" Mendengar itu, muka saya langsung merah. "Iya! Pasti kamu temennya Inyong! Tadi saya lihat kamu minta duit sama Inyong! Sekarang Inyong kabur! Dia itu maling motor! Dan kamu temennya.. artinya kamu juga maling!" Ucapan itu membuat dunia seketika runtuh menghujani diri saya.

Bayangkan saja, saya hanya bisa melihat para penonton bola pada pulang, pada girang, pada bercerita tentang heroiknya pasukan garuda kita mengalahkan Malaysia dengan skor 1-0. Katanya yang nyetak gol Ribut Wahidi. Ya Tuhan, itu pemain favorit saya di PSIS Semarang. Ya Tuhan, kenapa bisa begini jadinya? Saya renungi itu semua, saya tangisi nasib saya di mobil Polisi. Sesaat lagi masuk bersama saya di mobil Polisi itu seorang lelaki setengah baya. Rupanya dia yang kehilangan motor itu. Ini semua karena Inyong!

Kali pertama Indonesia meraih emas sepakbola di ajang Sea Games, justru saya rayakan di penjara Komdak. Saya satu sel dengan para penjahat, pencopet, maling, penipu, jambret, pokoknya semua penjahat. Oh, maaf, ada satu cowok yang sedari saya masuk sel, dia selalu nangis. Rupanya dia seorang mahasiswa dari Gunadarma, yang menurut pengakuannya dia dituduh copet, padahal bukan dia yang nyopet. Nasibnya serupa tapi tak sama. Buat dia, mungkin agak sulit membuktikan ke Polisi. Kalau saya, gampangan, karena saya minta Polisi untuk mendatangi rumah Inyong. Mudah-mudahan Inyong nggak kabur.

Polisi tidak segera juga mengajak saya ke rumah Inyong. Akibatnya, kami yang ada di sel mendapat perlakuan yang yah wajar kami terima. Setiap Polisi datang, pasti meninggalkan pukulan atau tendangan ke tiap-tiap kami. Mereka tidak perduli bahwa di antara kami ada yang tidak bersalah, seperti saya dan mahasiswa Gunadarma tadi. Tetap saja mereka memukuli saya.

Untungnya, setelah lama menunggu, saya dipanggil juga sama Polisi untuk minta diantar ke rumah Inyong. Sesampainya di rumah Inyong, waktu malam hari, orang tuanya sangat kaget ketika kami masuk. Masuk ke sebuah rumah yang seperti kapal pecah. Bayangkan saja, Inyong itu 9 bersaudara, semuanya laki-laki. Dan entah bodoh atau gimana, ternyata Inyong ada di rumah. Dia tidak kabur kemana-mana. Muka Inyong merah-padam melihat Polisi. Saya sempat kaget, ketika Inyong tidak mengakui perbuatannya. Saya marah, minta Inyong menjelaskan dengan sebenar-benarnya. Polisi menengahi pertengkaran mulut antara saya dan Inyong, "Kita selesaikan saja masalah di kantor Polisi."

Di Komdak, masalah tidak selesai begitu saja. Kami harus menjalani BAP berkali-kali. Masalah yang saya hadapi bukan karena Polisi sangat ringan tangan sering mukul muka saya ketika proses verbal itu, tapi karena Inyong tiap kali di-BAP selalu mengatakan bahwa saya ini maling juga sama dengan dirinya. Akibatnya terjadi bersitegang yang tinggi antara saya dengan sahabat saya di penjara Komdak. Saya masih ingat yang saya katakan, "Nyong.. lu tau gue nggak salah! Lu tau gue sekarang masih sekolah! Gue punya masa depan! Jadi tolong, kalo lu masih punya hati, lu ceritakan yang sebenarnya kejadian itu sama Polisi." Mendengar itu, saya bersyukur sekali, Inyong menyadari semua, dan pada BAP yang ke sekian kalinya, dia katakan yang sebenarnya, bahwa saya tidak bersalah. Hasilnya saya tidak berlama-lama lagi mendekam di penjara Polisi Komdak. Saya dibebaskan, dan harus menjadi saksi pada saat persidangan Inyong nanti.

Namun.. sidang itu tidak pernah terjadi. Saya hanya dengar Inyong sempat dipenjara beberapa bulan. Saat dia keluar dari penjara, saya sempat bertemu dirinya satu kali. Senyumnya yang khas masih tersungging di bibirnya. Dari senyumnya itu saya mendapatkan makna, dia tidak marah sama saya, karena memang saya tidak bersalah. Setelah itu saya berpisah.. berpisah begitu saja.. tanpa pernah lagi bertemu.. sampai sekarang.

Demikian.. saya bercerita ini semua tanpa tendensi apa-apa. Saya hanya sekedar berbagi, bahwa saya pernah mengalami peristiwa itu. Saya toh menggunakan nama-nama fiktif di dalam kisah saya itu.

Terimakasih.

0 komentar:

Posting Komentar